Sunday, November 16, 2014

Sajian Budaya Lokal di Ujung Jembatan Optimalkan Potensi Kawasan di Pulau Madura


Rentang-Rentang Jembatan Suramadu
Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura Bridge) merupakan jembatan yang melintasi Selat Madura. Jembatan sepanjang 5.438 meter ini merupakan wujud kemegahan infrastruktur yang menghubungkan perekonomian dan kebudayaan Pulau Madura dengan Pulau Jawa. Artinya, dengan adanya Jembatan Suramadu, waktu yang diperlukan untuk melintasi Selat Madura menjadi lebih cepat dan perekonomian pun berkembang pesat.

Pembangunan infrastruktur berupa kombinasi jembatan layang (causeway), jembatan utama (main bridge), dan jembatan penghubung (approach bridge) ini memang menjadi fasilitas penting dalam transportasi dari Pulau Jawa ke Madura dan sebaliknya. Karena jika menyeberang dengan kapal feri, penumpang harus menunggu antrian terlebih dahulu agar bisa diseberangkan, sehingga memakan waktu lama. Sementara jika dengan menggunakan jembatan, maka waktu yang diperlukan semakin cepat, karena pengguna tinggal melintas begitu saja dan sampailah ke daratan di seberang. 

Dengan demikian, adanya jembatan Suramadu menjadikan transportasi antarpulau ini pun menjadikan transportasi lebih efisien. Karena itu, jembatan nasional yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 ini diharapkan mampu mendukung pengembangan kawasan di Madura maupun di Surabaya, dan bahkan di Pulau Jawa. Baik pengembangan ekonomi maupun budayanya. 

Pulau Madura dalam Potensi, Kreasi, dan Inovasi Berbasis Budaya Lokal 
Meluncur Menuju Pulau Madura
Madura merupakan pulau penuh potensi. Karakteristik geografi dan demografi pulau Garam ini memberi warna pada budaya, adat, dan tradisi serta kearifan lokal yang berlaku oleh masyarakat. Pulau yang secara geografis dikelilingi oleh pantai membentuk watak pekerja keras, ulet, tangguh dan rasa setia kawan yang kuat. 
Tidak heran, jika di manapun masyarakat Madura tinggal, maka karakteristik asli tergambar dalam perilakunya. Pedagang yang tangguh, wirausahawan yang handal pula. Daya kreasi, inovasi, dan motivasi tergambar dalam pola-pola bisnis yang dikelola. Sekecil apapun skala bisnisnya, dan sampai sebesar apapun skala bisnisnya, karakteristik wirausaha semacam delay of gratification, traditional skill management, dan tenacity memupuk passion berdagang yang berakar dalam jiwa kemandirian masyarakat Madura. 

Karakter masyarakat Madura tersebut merupakan potensi sumberdaya manusia yang jika dipadukan dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki maka akan menjadi potensi yang luar biasa bagi Pulau Madura untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akselerasi pendapatan daerah. Terlebih, di era otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan pengembangan kawasan di wilayah masing-masing, baik pengembangan kawasan ekonomi maupun budaya. 

Secara ekonomi, potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Pulau Madura masih bisa dioptimalkan guna mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan mendukung akselerasi pendapatan daerah.   
Selain itu, pengelolaan wirausauhawan yang terwujud melalui kreasi dan inovasi para pengrajin yang masih terpisah-pisah juga merupakan tantangan bagi pemerintah setempat untuk melakukan aglomerasi dan pengembangan kawasan guna memancing keunggulan kompetitif antarpelaku usaha yang mayoritas masih merupakan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).

Melalui pengembangan kawasan pengrajin ini akan terbentuk sentra-sentra bisnis yang sebenarnya memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh, pengrajin batik Madura dapat diklaster di kawasan dan berada di sentra batik. Pengrajin batik ini akan memerlukan pelaku bisnis di Sentra Tekno untuk mendapatkan software atau aplikasi sistem informasi sederhana dan hardware penunjangnya untuk mendukung proses manajemennya. Pengrajin batik juga akan membutuhkan pelaku usaha di bidang agroindustri sebagai pemasok bahan pewarna alami. Demikian pula dengan sentra wisata, akan memerlukan hasil batik dan hasil kerajinan tangan lainnya untuk souvenir ataupun menambah keunikan dalam bisnisnya.

Rasa setia kawan antarindividu merupakan potensi untuk meningkatkan perekonomian dengan sistem saling menguatkan. Bahwa mereka tidak akan mengambil pemasok dari luar daerah jika di daerahnya masih ada pasokan yang memadai. Pengembangan kawasan bisnis melalui pola aglomerasi ini selain memudahkan pengelolaan kawasan, juga memicu daya saing pelaku bisnis dan saling menguatkan, serta bisa menjadi tujuan wisata yang menarik pengunjung pulau ini. 

Mengapa? Dengan adanya sentra-sentra bisnis dalam kawasan, maka pengunjung akan dengan mudah menuju lokasi-lokasi yang dianggap unik. Pastinya, hal ini perlu dukungan regulasi dari pemerintah lokal, supaya kearifan lokal yang unik dan khas tetap mewarnai sentra-sentra bisnis tersebut. Baik menjadi pewarna dalam manajemen dan proses bisnis internal maupun dalam hasil produksinya. 

Pulau Madura di Ujung Jembatan 
Selamat Datang di Pulau Madura
Adanya Jembatan Suramadu memang diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung antara masyarakat di luar daerah untuk mengetahui lebih jauh mengenai potensi pulau Madura di berbagai kawasan. Namun, sejauh ini, ketika menyeberangi jembatan dan sampai di ujung jembatan, maka pengunjung atau pendatang yang pada umumnya sengaja ingin menikmati jembatan Suramadu, hanya disambut dengan para penjual kerajinan dan makanan khas Madura yang berbaris di sisi kiri kanan ujung jembatan. 

Hal ini menjadikan para pengunjung tersebut merasa 'kaclek' karena setelah itu mereka hanya bisa duduk-duduk saja di dalam mobil atau di lesehan para pedagang kecil. Tidak ada pemandangan atau kegiatan lain yang menarik untuk dilakukan dan berlama-lama di jembatan yang hingga saat ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia. 

Seperti yang dialami oleh pengunjung dari Kalimantan Timur yang tengah ada keperluan bisnis di Surabaya. Senyampang di Surabaya, sebelum pulang ke Kalimantan, mereka ingin melintasi Jembatan Suramadu. Setelah seharian menunggu di Surabaya, mereka pun diantar ke Jembatan Suramadu. Namun, setelah sampai di Jembatan dan menyeberanginya, mereka hanya bisa duduk-duduk di dalam mobil, menikmati semangkuk bakso dan segelas es jeruk manis. Atau sambil menikmati tahu petis khas Madura atau rengginang lorjuk. Selebihnya mereka belanja oleh-oleh khas berupa kerajinan tangan atau makanan khas yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Setelah itu, mereka pun kembali menyeberang jembatan dan kembali ke Surabaya. 

Di sini, memang terasa masih hambarnya pemandangan di ujung jembatan. Baik di Madura maupun di Surabaya. Karena di kedua ujung jembatan tersebut belum menfasilitasi pendatang atau pengunjung yang sengaja datang ke Jembatan Suramadu dan menganggap Jembatan Suramadu sebagai salah satu 'keajaiban' dunia yang harus dikunjungi. Artinya, Jembatan Suramadu bukan sekedar berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dua daratan, tetapi sebagai bangunan megah dan berjaya yang patut mendapat apresiasi untuk dinikmati. 

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah lokal untuk mengubah simbiosis komensalisme antara jembatan Suramadu dengan Pulau Madura agar menjadi simbiosis mutualisme. Artinya, jika selama ini, jembatan Suramadu dapat memperoleh pendapatan dari pengendara yang melalui jembatan, maka sudah saatnya Pulau Madura juga meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi keberadaan jembatan Suramadu. 

Pertama, Resonansi Budaya Lokal di Ujung Jembatan 
Ragam budaya Madura yang terbentuk sebagai wujud dari watak masyarakat Pulau Madura sebenarnya dapat ditampilkan di saat pendatang berhasil mencapai ujung jembatan. Pembangunan taman budaya berbasis kearifan lokal semacam onjempetik lautnyabistelasanpangambekandun dapat dibangun dengan dukungan regulasi pemerintah daerah. 

Taman budaya ini dapat menyajikan aneka jenis kesenian tradisional Madura seperti karapan sapi, tari-tarian, lukisan, lagu, dan sebagainya. Tentunya, penyajiannya juga didesain dalam lokasi-lokasi berdasarkan wilayahnya. Dengan demikian, akan memudahkan pengunjung dalam memilih sajian budaya tersebut sekaligus mengetahui daerah asal yang kental dengan budaya tersebut. 
Untuk itu, kendala terbesar yang mungkin dihadapi adalah masalah pembebasan tanah. Namun, hal ini dapat diatasi melalui pendekatan adat dan dilakukan secara personal. Artinya komunikasi secara adat yang empatik dan simpatik kepada masing-masing pemilik tanah. Dan, yang paling 'afdhol' hal ini dapat dilakukan oleh Gubernur sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Provinsi Jawa Timur. 

Kedua, Peta Kawasan dan Peta Sentra Bisnis bagi Pedagang Kaki Lima di Ujung Jembatan 
Pedagang kaki lima di ujung jembatan dapat dirapikan melalui penempatan jenis dagangan. Misalnya sentra kuliner, sentra batik, sentra kerajinan tangan, dan lain-lain. Pola penempatan pedagang kaki lima ini dapat dilakukan dengan memetakan kawasan dan sentra bisnis. Artinya, penempatan pedagang kaki lima ini dapat disusun dalam sebuah peta kawasan dan sentra bisnis. Dengan demikian, pengunjung dapat mengetahui wilayah asal setiap produk yang dijual. 

Ketiga, Zona Rekreasi (Playground) 
Anak 1 (Usia 10 tahun): "Enggak ah, Suramadu kan nggak ada apa-apanya. Enakan di Kebun Bibit saja, ada mainannya, ada lapangannya, bisa lari-larian, bisa mainan pula."  
Anak 2 (Usia 11 tahun): "Tapi bosan. Setiap hari libur ke Kebun Bibit." 
Anak 3 (16 tahun): "Memang ngapain sih ke Jembatan Suramadu. Paling juga duduk-duduk di mobil. Nggak ada yang bisa dilihat,"  
Anak 4 (Usia 17 tahun): "Halah, jembatan Suramadu. Memangnya ada apanya di sana. Harusnya ada tamannya atau apa kek, air mancur, atau apa lah, yang bisa dinikmati. Hehehe ..." 
Komentar-komentar tersebut meluncur dari mulut empat putra putriku yang pernah kuajak ke Jembatan Suramadu dan saya tawari untuk jalan-jalan ke sana untuk yang kedua kali. Bahkan, si sulung pun sangat berat hati saat saya minta untuk menemani saudara yang datang dari luar pulau untuk melintasi jembatan Suramadu. Rupanya pengalaman pertama melintasi Jembatan Suramadu memberi pengalaman yang kurang 'mengenakkan' tentang Jembatan Suramadu. Karena waktu itu, kami hanya bisa duduk-duduk di seberang jembatan, menikmati bakso dan minuman segar. Untuk selanjutnya, kami harus kembali ke Surabaya dan menghabiskan waktu di Pantai Kenjeran Lama, karena padatnya jalan menuju Pantai Ria Kenjeran Baru. 
Menikmati Jembatan Suramadu dari Atas Mobil (Di Tengah-tengah Jembatan)
Menikmati Cemilan di Atas Mobil
Turun Sebentar, Tidak Banyak yang Bisa Dinikmati
Sebagaimana disebutkan di muka, jembatan nasional yang diluncurkan pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2003 ini merupakan simbol kemegahan infrastruktur di bidang transportasi. Banyak orang yang ingin melintasi panjangnya Jembatan Suramadu untuk menikmati kegagahan dan kemegahannya. 
Tidak jarang, di hari libur atau di akhir pekan, sebelum atau sesudah menikmati wisata pantai di Kenjeran Surabaya, masyarakat akan mengarahkan tujuannya ke Jembatan Suramadu. Oleh karena itu, kehadiran playground diperlukan untuk menarik kunjungan masyarakat yang haus dengan hiburan di ruang terbuka hijau. Jangan sampai kalimat yang meluncur dari anak-anak seperti kutipan di atas terdengar lagi di masa datang. 

Keempat, Regulasi Berbasis Kearifan Lokal 
Regulasi pemerintah selama ini yang terkesan kaku dengan tataran hukum, mungkin harus mulai memperhatikan kearifan lokal. Regulasi yang mendukung budaya lokal dan memegang kearifan lokal yang berlaku di masyarakat semacam onjem, petik laut, nyabis, telasan, pangambek, andun, dan semacamyna diharapkan lebih mudah diterima oleh masyarakat. 
Dengan adanya regulasi berbasis kearifan lokal, akan memudahkan pemerintah daerah dalam mewujudkan setiap program kerja yang digalakkan. Intrik dan konflik yang selama ini ditemukan terkait kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah pun dapat diminimalkan dan bahkan diharapkan dapat dieliminasikan. Sehingga harmoni antara masyarakat dan pemerintah pun dapat tercapai. 

Suramadu, Antara Kemegahan, Kehidupan, dan Penghidupan 
Menembus Kemegahan Jembatan Suramadu
Akhirnya, dengan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa Pulau Madura adalah pulau yang sarat dengan potensi positif di bumi Tanduk Majeung. Faktor geografis yang tergambar dalam karakteristik demografi dan kepribadian masyarakat membentuk budaya lokal yang unik, sehingga tercipta kearifan lokal dalam setiap perilaku dan tradisi. Kearifan lokal yang mewarnai sistem nilai dalam bermasyarakat, sehingga masyarakat di Pulau Garam ini dikenal sebagai pelaku bisnis yang tangguh dan ulet, serta setia kawan. 

Jembatan terpanjang di Indonesia ini pun masih menjadi magnit bagi pengunjung yang datang ke Surabaya. Potensi yang melekat dalam kemegahan jembatan Suramadu menjadi bekal yang sangat efektif untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Madura melalui manajemen proses bisnis dan regulasi agar menjadi wacana dalam penghidupan masyarakat di daerah. Kemegahan infrastruktur yang melekat dalam bangunan Jembatan Suramadu tidak hanya menggambarkan fungsinya sebagai penghubung dua daratan, karena ada aroma wisata yang juga tercium dari kekhasan budaya lokal Pulau Madura. 

Selanjutnya, melalui upaya aglomerasi dalam pengembangan kawasan yang dieksplorasi di ujung jembatan, diharapkan mengantarkan pengunjung untuk menikmati lebih jauh cita rasa budaya khas Madura. Dengan demikian potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dapat digarap secara sempurna yang terwujud dengan kemajuan para pelaku UMKM di berbagai penjuru di Pulau Madura. Yang pada akhirnya potensi budaya lokal yang khas akan mendukung potensi ekonomi di Pulau Garam ini. 
In Sya Allah.

Gambar: Doc. Pribadi by @mom_of_five, 
Januari 2013, Jembatan Suramadu

No comments:

Post a Comment

.comment-content a {display: none;}